Runtuh di Jerman, Tembok Berlin Berdiri di Idonesia

sumber: google.com

Runtuhnya Tembok Berlin di dalam sejarah telah menjadi sebuah sinonim untuk runtuhnya “komunisme”. Dalam 20 tahun semenjak peristiwa besar ini, kita telah menyaksikan sebuah ofensif ideologi yang luar biasa besar untuk melawan ide-ide Marxisme dalam skala dunia. Peristiwa ini dijunjung tinggi sebagai bukti matinya Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme.

Tembok Berlin adalah sebuah simbol dan titik utama dari semua yang dibenci di rejim Jerman Timur. Pembongkaran Tembok ini dimulai cukup spontan. Selama beberapa minggu kemudian, beberapa bagian dari Tembok ini mulai dihancurkan. Kemudian mesin-mesin industri digunakan untuk merobohkan seluruh tembok yang tersisa. Ada atmosfer perayaan, sebuah perasaan sukacita, yang tampak lebih seperti sebuah karnival daripada sebuah revolusi. Tetapi ini benar untuk semua tahap awal dari setiap revolusi yang megah, seperti halnya revolusi 1789.

Pada bulan November 1989, penduduk GDR dipenuhi dengan perasaan emosional – sebuah perasaan pembebasan, dipenuhi dengan perasaan sukacita secara umum. Seperti seluruh bangsa mengalami kemabukan, dan oleh karena itu rentan terhadap saran-saran dan impuls-impuls spontan. Menumbangkan rejim yang lama ini ternyata lebih mudah daripada yang diperkirakan oleh semua orang. Tetapi, setelah menumbangkan rejim ini, apa yang akan menggantikannya. Rakyat yang telah menumbangkan rejim lama ini mengetahui dengan pasti apa yang tidak mereka inginkan, tetapi mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka inginkan, dan tidak ada seorangpun yang menawarkan sebuah jalan keluar.

Semua kondisi objektif untuk sebuah revolusi politik sekarang tersedia. Mayoritas populasi tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Mereka menginginkan sosialisme, tetapi dengan hak-hak demokrasi, tanpa Stasi, tanpa birokrat-birokrat yang korup, dan tanpa sebuah negara satu-partai yang diktatorial. Bila sebuah kepemimpinan Marxis yang sejati ada pada saat itu, sebuah revolusi politik sudah pasti akan terjadi dan demokrasi buruh akan terbentuk.

Akan tetapi, jatuhnya Tembok Berlin tidak menghasilkan sebuah revolusi politik tetapi konter-revolusi dalam bentuk unifikasi dengan Jerman Barat. Tuntutan ini (unifikasi dengan Jerman Barat) bukanlah tuntutan utama pada awal demonstrasi. Tetapi tanpa adanya sebuah program yang jelas, tuntutan ini dikedepankan dan perlahan-lahan menempati peran utama.

Kebanyakan pemimpin oposisi tidak memiliki program, kebijakan, atau perspektif yang jelas, selain sebuah harapan untuk demokrasi dan hak sipil. Seperti halnya alam, politik membenci vakum. Keberadaan sebuah negara kapitalis yang kuat dan kaya di seberang oleh karena itu memainkan sebuah peran yang menentukan untuk mengisi vakum ini.

Berbeda dengan hal di atas, seorang seniman kawakan Indonesia, Teguh Ostenrik menderikan 4 bagian tembok yang telah diruntuhkan itu ke Indonesia. Hal yang sangat keren yang dilakukan oleh seorang Teguh Ostenrik adalah mau menyimpan empat bagian Tembok Berlin yang dibawanya dari Jerman.

Ya, Teguh Ostenrik mengakuisisi 4 bagian Tembok Berlin beberapa minggu setelah diruntuhkan pada 1989. Begitulah cara Teguh menghargai sejarah. Di luar kapabilitas teknis yang ia miliki, Teguh punya hal lain yang membuat karyanya selalu menjadi penting: kemampuan mengemas ide menjadi sebuah konsumsi public yang menarik. Misalnya saja ketika menggelar DeFacement. Teguh –dan timnya- berhasil membuat orang membicarakan pameran tersebut lewat rangkaian diskusi yang dengan sukses membentuk opini tentang karyanya. Teguh Ostenrik lahir 1950 di Jakarta.

Setelah selesai SMU dia memutuskan untuk kuliah seni rupa di Jerman. 1980 dia lulus kuliah seni rupa sebagai murid Prof. H. Bachmann. Sejak saat itu dia selalu kontak dengan Jerman.

Titik tolak siklus gambar-gambar ini ialah runtuhnya tembok Berlin pada tanggal 10 Nopember 1989, akhir dari perang dingin. Tak lama setelah kejadian itu, Teguh Ostenrik pergi ke Berlin, untuk merasakan sendiri suasana saat bersejarah tersebut.  

Disana dia membeli empat pecahan besar dari tembok yang sudah roboh itu, yang selama 27 tahun telah memisahkan Berlin dan dia membawa tembok-tembok itu ke Jakarta. Segmen tembok itu buat Teguh Ostenrik merupakan simbol bersejarah. Tembok-tembok tersebut menandakan batas yang nampaknya tak terkalahkan.

Siklus "Menembus batas" 
Kembali ke Jakarta muncullah satu seri dari lukisan-lukisan akralik dan minyak, yang merupakan tumpahan perasaan dan suasana terhadap negara, yang dengannya Teguh Ostenrik mempunyai ikatan batin.

"Die Nacht davor/Malam sebelumnya" dan "Die kalte Nacht/Malam yang dingin" menceritakan persiapan, rencana dan terutama ketakutan.

"Die Schatten der Vopos/Bayangan polisi rakyat" berdiri gelap dan menakutkan di atas tembok dan orang-orang merah tanah memandang mereka dan membungkuk di hadapan mereka.

"Spalt/Celah" di dinding merupakan tanda harapan. Desakan massa menjadi semakin besar dan rapat, tekanan arus massa ke sisi yang lain menjadi tak terkendali.

"Der zweite Spalt/Celah kedua" sudah mulai berbentuk, sepertinya akan terjadi sesuatu. Tangan, kaki dan tubuh merapat ke dinding: "Durchschleichen/merambat" dan "Memanjat". Mereka yang memilih melompati tembok, bersiap-siap "Meloncat/Sprung", tampaknya untuk sementara waktu melayang ragu-ragu. "Da oben/Di atas sana" mereka bangun, melihat dengan bingung dan menikmati saat kemenangan tersebut.

Tiba di sisi yang lain, bergegas mereka menjauhkan diri dari tembok, yang sudah bertahun-tahun memisahkan mereka. ("Lari" dan "Hinter mir her/Membututi saya") "Der Treffpunkt/Tempat pertemuan" dan "Das Wiedersehen/Perjumpaan kembali" merupakan tujuan yang sudah sejak lama didambakan. Gambar-gambar ini mencapai puncaknya dalam karya "Umarmung/Berpelukan".

Ulang tahun kemenangan dirayakan negara-negara dalam pesta nasional dan kegembiraan, tetapi Teguh memutuskan untuk merayakannya dalam keteduhan, dilukiskan dengan Berpelukan, yang tidak hanya berisikan kegembiraan semata.

Keterasingan antara disini dan di seberang sana masih tidak tertembus, dan kesulitan-kesulitan mendatang sudah membayang. Orang berdiri dengan sikap asing di hadapan mereka yang dari "seberang sana": "Die Mutter von Drüben/Ibu dari seberang" dan "Bist Du mein Vater/Apakah kau ayahku?"

Ini jadwal dan tempatnya:

Pameran lukisan karya TEGUH OSTENRIK:

16 Nopember - 14 Desember 2000 jam 08.00-17.00

Goethe-Institut

Jl. Matraman Raya 23, Jakarta Timur Sabtu dan Minggu tutup

"Menembus batas" ialah siklus lukisan, yang telah mengambil titik tolak
peristiwa politik yang khas, tetapi jauh dari maksud-maksud politis. Isi
pesan dari siklus lukisan ini tetap tinggal di masing-masing komponen:
estetis dan filosofis. []

Posted by Akmal M Roem

Tweet